Kepemimpinan Ideal Menurut Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang Masalah

Ensiklopedia Administrasi (disusun oleh staf Dosen Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada) menyatakan pemimpin adalah orang yang melakukan kegiatan atau proses mempengaruhi orang lain dalam suatu situasi tertentu, melalui proses komunikasi, yang diarahkan guna mencapai tujuan/tujuan-tujuan tertentu
Pemimpin adalah pengatur kegiatan kelompoknya dengan jalan mempengaruhi kelompoknya agar melakukan kegiatan demi tercapainya suatu tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Dewasa ini banyak sekali pemimpin yang kurang mampu dalam memimpin kelompoknya. Hal ini disebabkan karena sering terjadi ketidakjujuran dan kecurangan dalam proses pemilihan pemimpin sehingga mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang kurang mampu dalam memimpin dan dampaknya yaitu kelompok yang dipimpin mengalami ketidak harmonisan kemudian banyak terjadi kerusuhan. 
            Soedarmo dalam artikelnya yang berjudul “Perspektif Kepemimpinen Dalam Islam” menyatakan didalam konsep Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang cara memimpinya beracuan Al-Quran dan Hadist sebagai sumber hukum utama ajaran Islam. Tidak semata-mata membuat aturan sendiri yang menyimpang dari ajaran Islam. Banyak sekali orang yang kurang tahu tentang kriteria pemimpin menurut pandangan Islam dan cara memimpin dalam Islam. Keaadaan ini sangat mengkhawatirkan, melihat banyaknya perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam. Salah satu penyebab dari kekacauan yang akhir-akhir ini terjadi adalah peran pemimpin yang kurang mampu membawa masyarakat kearah yang lebih baik.

B.                 Perumusan Masalah
Setelah penjelasan tentang definisi pemimpin sudah dipaparkan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1.      Bagaimana sejarah Kepemimpinan dalam Islam?
2.      Bagaimana Pemimpin yang baik menurut pandangan Islam?
3.      Bagaimana kriteria dalam menentukan Pemimpin yang ideal?
4.      Bagaimanan cara menyikapi Pemimpin yang tidak sesuai dengan ajaran Islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Kepemimpinan Islam
Seribu tahun lebih ummat Islam di pimpin dalam bentuk kerajaan yang kemudian meminjam nama khilafah sebagai nama dari bentuk pemerintahan mereka, padahal pewarisan kepemimpinan tidak pernah ada dalam ranah pemikiran Islam.
Sejak Rasulullah SAW wafat sejarah mencatat empat kali pergantian kepemimpinan khilafah Islamiyah yang di sepakati oleh para sahabat. Namun sejak akhir kepemimpinan Ali R.A perubahan khilafah berubah tanpa bisa di bendung oleh keinginan syahwat kepemimpinan ummat manusia. Bisa di katakan dari sinilah awal perdebatan akan Islam dan khilafah mulai begulir dengan panas.
Dinasti Umawiyah berdiri tegak sejak tahun 41 H (661 M) di Damaskus yang di deklarasikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan berumur kurang lebih 90 tahun dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah sebagai khalifah pertama. Pemerintahan yang bersifat demokratis yang pernah berlangsung selama pemerintahan khulafaurrasyidin berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun), yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, bukan dengan pemilihan atau suara terbanyak (syura). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah.
Pada tahun 743 M kekuasaan khilafah Umawiyah habis di Jazirah Arab, sejak jatuhnya khilafah Umawiyah kepemimpinan ummat Islam tetap berjalan namun berbentuk kerajaan kecil selama berapa tahun lamanya. Setelah dinasti Umawiyah makin lemah disusul pemberontakan terjadi di mana-mana maka pada tahun 132 H (750 M) dinasti Abbasiyah muncul mendeklarasikan khilafah. Sistem kepemimpinannya meneruskan gaya kepemimpinan dinasti sebelumnya. Keilmuan yang makin matang di tengah-tengah masyarakat Islam membawa gaya kepemimpinan dinasti ini banyak mengalami perubahan. Selama dinasti berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Dinasti Abbassiyah hancur akibat serangan bala tentara Hulagu Khan dari Mongol pada tahun 1258 M, akibat penyerangan ini, kota Baghdad yang di kenal sebagai pusat keilmuan Islam luluh lantak, peradaban Islam yang pernah mencapai keemasannya hilang dalam hitungan hari, hingga menjadikan masa ini titik awal kemunduran ummat Islam.
Tahun 1288 M seorang pemimpin dari Asia Tengah bernama Usman yang cukup gigih, disegani dan kuat memulai kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, sistem kepemimpinannya mengikuti dua dinasti besar yang telah mendahuluinya, kepemimpinannya berakhir pada tahun 1924 M setelah mengalami pembangkrutan dari imperialis serta kudeta yang dilakukan oleh seorang Jendral Kemal Attaturk. Membaca sejarah kepemimpinan tiga dinasti yang pernah menjadi pusat pemerintahan ummat Islam dapat kita mengambil kesimpulan bahwa kepemimpinan (khilafah) yang sering kali kita baca dalam literatur Islam tercermin dalam bentuk pewarisan kekuasaan diantara keluarga sebuah klan.
B.     Pemimpin yang Baik Menurut Islam
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Maka ada bebrapa kriteria pemimpin yang baik
  1. Beriman & Bertaqwa dengan sebenarnya, yaitu: mampu memelihara hubungan baiknya dengan Allah (seperti dengan shalat), memelihara hubungan baiknya dengan manusia (seperti dengan zakat) & tunduk secara bersama kepada Allah, Rasul-Nya & orang-orang beriman.
  2. Amanah /credible / dapat dipercaya sebagai wujud keimanannya pad Allah (HR. Ahmad, QS. 2: 283). Allah mengisyaratkan untuk mengangkat “pelayan rakyat” yang kuat & dapat dipercaya (الْقَوِيُّ الْأَمِينُ : QS. 28: 26). Secara umum, orang dipercaya karena 2 hal, yaitu:
    1. Integritas kepribadiannya, seperti: shiddiq (benar & jujur), adil, ramah, istiqamah & bertanggung jawab. Uswatun hasanah
    2. Kemampuannya, seperti: profesional/ahli       dalam memenej tugas, atau fathanah /cerdas. Pemimpin yang fathanah harus memiliki 3 kecerdasan, yaitu:
                                                              i.      Kecerdasan intelektual: Berilmu, berwawasan luas, cerdas-kreatif, memiliki pandangan jauh ke depan / visioner (QS. 59: 18)
                                                            ii.      Kecerdasan spiritual: Kemampuan menterjemahkan kehendak Allah dalam pikiran, sikap & prilaku. Dia melakukan sesuatu bukan karena yang lain melainkan hanya karena Allah semata (Ikhlas) 
                                                          iii.      Kecerdasan emosional: Sabar, yakni mampu mengendalikan emosi jiwanya, tahu kapan harus bertindak tegas & kapan toleran.
  1. Syajâ‘ah, yaitu: berani menyatakan kebenaran & memutuskan perkara secara adil & bijak, serta berani menyeru pada kebaikan & mencegah kemungkaran. Hanya orang yang benar-benar bersih & yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya serta takut pada Allah yang berani menyampaikan kebenaran risalah Ilahi.
  2. Mencintai & dicintai Rakyatnya, Bukti kecintaan pemimpin terhadap rakyatnya yaitu dia kenal & dekat dengan rakyatnya, peka dan peduli terhadap nasib rakyatnya, tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mendoakannya. Kemampuan merasakan penderitaan manusia dan sangat peduli dengan keselamatan mereka, dan dimiliki oleh Nabi saw yang tulus mencintai mereka.
  3. Uswatun Hasanah, yaitu: bisa menjadi teladan yang baik dan teduh sehingga mampu mendidik orang yang dipimpinnya dengan keteladanan dan nasihat yang baik pula.
C.    Kriteria Dalam Menentukan Pemimpin yang Ideal
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
1.      Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
2.      Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabd: "Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
3.      Faktor Kepeloporan
Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
4.      Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.

5.      Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab.
D.    Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
Sikap Pertama. Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang. Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS.Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)
Berkata Imam Ibnu Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)
Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa
Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)
Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam Adz Dzahabi)
Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)
Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/518)
Imam al Baidhawi, berkata tentang makna Ulil Amri di antara kamu , “Para pemimpin umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan setelahnya secara umum, seperti penguasa, hakim,dan panglima perang, dimana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah perintah untuk berbuat adil. Kewajiban taat ini berlaku selama mereka dalam kebenaran.” (Anwarut Tanzil w a Asrarut Ta’wil, 2/94-95)
Imam ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas kebenaran. Sedangkan taat kepada para pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul Ghaib, 3/244)
Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepeda penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)
Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama,
Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam at Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari dulu zaman Nabi lalu Khulafaur Rasyidin sampai sekarang seorang pemimpin mempunyai sesuatu innerbeauty tersendiri yang bisa menarik perhatian dan mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya.  Dalam pemilihannyapun terselenggara dengan mufakad atau diskusi. Namun menjadi seorang pemimpin juga harus tahu batasan-batasan seorang pemimpin.Tidak hanya sekedar tahu, pemimpin juga harus ada bukti/realisasi atas katahuannya tentang menjadi pemimpin yang baik sesuai dengan Islam.
B.     Saran
·         Kepemimpinan dalam Islam secara kontekstelual seharusnya bisa dilaksanakan dalam sistem pemerintahan negara
·         Kita sepatutnya berani menegur pemimpin yang berlaku menyimpang dari ajaran agama
·         Sebagai masyarakat kita harus mematuhi pemimpin yang sudah kita pilih
·         Dalam pemilihan pemimpin seharusnya melalui kesepakatan atau musyawarah
·         Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.



DAFTAR PUSTAKA:
H. Munawir Sjadzali, M.A ; 1993 ; Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah, Pemikiran; Jakarta ; UI-Perss
http://www.saefudin.info/2009/03/mencermati-kepemimpinan-rasulullah-saw.html
http://www.ppalanwar.com/news/177/13/KONSEP-KEPEMIMPINAN-ISLAM/d,detail_news_mawaidl/
http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/14/muhammad-saw-tauladan-kepemimpinan-sepanjang-masa/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/09/enam-presiden-yang-telah-mewarnai-nkri/

0 komentar:

Posting Komentar