BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ensiklopedia Administrasi
(disusun oleh staf Dosen Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada)
menyatakan pemimpin adalah orang
yang melakukan kegiatan atau proses mempengaruhi orang lain dalam suatu situasi
tertentu, melalui proses komunikasi, yang diarahkan guna mencapai
tujuan/tujuan-tujuan tertentu
Pemimpin adalah pengatur kegiatan kelompoknya dengan
jalan mempengaruhi kelompoknya agar melakukan kegiatan demi tercapainya suatu
tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya.
Dewasa ini banyak sekali pemimpin yang kurang mampu
dalam memimpin kelompoknya. Hal ini disebabkan karena sering terjadi
ketidakjujuran dan kecurangan dalam proses pemilihan pemimpin sehingga
mengakibatkan terpilihnya pemimpin yang kurang mampu dalam memimpin dan
dampaknya yaitu kelompok yang dipimpin mengalami ketidak harmonisan kemudian
banyak terjadi kerusuhan.
Soedarmo dalam artikelnya yang
berjudul “Perspektif Kepemimpinen Dalam Islam” menyatakan didalam konsep Islam,
pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi
tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin
ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis
dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin
akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan
kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang cara
memimpinya beracuan Al-Quran dan Hadist sebagai sumber hukum utama ajaran
Islam. Tidak semata-mata membuat aturan sendiri yang menyimpang dari ajaran
Islam. Banyak sekali orang yang kurang tahu tentang kriteria pemimpin menurut
pandangan Islam dan cara memimpin dalam Islam. Keaadaan ini sangat
mengkhawatirkan, melihat banyaknya perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan
yang diajarkan dalam Islam. Salah satu penyebab dari kekacauan yang akhir-akhir
ini terjadi adalah peran pemimpin yang kurang mampu membawa masyarakat kearah
yang lebih baik.
B.
Perumusan
Masalah
Setelah penjelasan tentang definisi pemimpin sudah
dipaparkan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana sejarah
Kepemimpinan dalam Islam?
2.
Bagaimana Pemimpin yang
baik menurut pandangan Islam?
3.
Bagaimana kriteria
dalam menentukan Pemimpin yang ideal?
4.
Bagaimanan cara
menyikapi Pemimpin yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kepemimpinan Islam
Seribu
tahun lebih ummat Islam di pimpin dalam bentuk kerajaan yang kemudian meminjam
nama khilafah sebagai nama dari bentuk pemerintahan mereka, padahal pewarisan
kepemimpinan tidak pernah ada dalam ranah pemikiran Islam.
Sejak
Rasulullah SAW wafat sejarah mencatat empat kali pergantian kepemimpinan
khilafah Islamiyah yang di sepakati oleh para sahabat. Namun sejak akhir
kepemimpinan Ali R.A perubahan khilafah berubah tanpa bisa di bendung oleh
keinginan syahwat kepemimpinan ummat manusia. Bisa di katakan dari sinilah awal
perdebatan akan Islam dan khilafah mulai begulir dengan panas.
Dinasti
Umawiyah berdiri tegak sejak tahun 41 H (661 M) di Damaskus yang di
deklarasikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan berumur kurang lebih 90 tahun
dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah sebagai khalifah pertama. Pemerintahan
yang bersifat demokratis yang pernah berlangsung selama pemerintahan
khulafaurrasyidin berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun),
yang diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, bukan dengan
pemilihan atau suara terbanyak (syura). Suksesi kepemimpinan secara turun
temurun dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan
setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh monarchi di Persia
dan Bizantium. Dia memang tetap menggunakan istilah khalifah, namun dia
memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutnya “khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang
diangkat oleh Allah.
Pada
tahun 743 M kekuasaan khilafah Umawiyah habis di Jazirah Arab, sejak jatuhnya
khilafah Umawiyah kepemimpinan ummat Islam tetap berjalan namun berbentuk
kerajaan kecil selama berapa tahun lamanya. Setelah dinasti Umawiyah makin
lemah disusul pemberontakan terjadi di mana-mana maka pada tahun 132 H (750 M)
dinasti Abbasiyah muncul mendeklarasikan khilafah. Sistem kepemimpinannya
meneruskan gaya kepemimpinan dinasti sebelumnya. Keilmuan yang makin matang di
tengah-tengah masyarakat Islam membawa gaya kepemimpinan dinasti ini banyak
mengalami perubahan. Selama dinasti berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Dinasti
Abbassiyah hancur akibat serangan bala tentara Hulagu Khan dari Mongol pada
tahun 1258 M, akibat penyerangan ini, kota Baghdad yang di kenal sebagai pusat
keilmuan Islam luluh lantak, peradaban Islam yang pernah mencapai keemasannya
hilang dalam hitungan hari, hingga menjadikan masa ini titik awal kemunduran
ummat Islam.
Tahun
1288 M seorang pemimpin dari Asia Tengah bernama Usman yang cukup gigih,
disegani dan kuat memulai kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, sistem
kepemimpinannya mengikuti dua dinasti besar yang telah mendahuluinya,
kepemimpinannya berakhir pada tahun 1924 M setelah mengalami pembangkrutan dari
imperialis serta kudeta yang dilakukan oleh seorang Jendral Kemal Attaturk.
Membaca sejarah kepemimpinan tiga dinasti yang pernah menjadi pusat
pemerintahan ummat Islam dapat kita mengambil kesimpulan bahwa kepemimpinan (khilafah)
yang sering kali kita baca dalam literatur Islam tercermin dalam bentuk
pewarisan kekuasaan diantara keluarga sebuah klan.
B.
Pemimpin yang Baik Menurut Islam
Perihal
mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik
untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan
berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul
karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Maka ada bebrapa kriteria pemimpin yang baik
- Beriman & Bertaqwa dengan sebenarnya, yaitu: mampu memelihara hubungan baiknya dengan Allah (seperti dengan shalat), memelihara hubungan baiknya dengan manusia (seperti dengan zakat) & tunduk secara bersama kepada Allah, Rasul-Nya & orang-orang beriman.
- Amanah /credible / dapat dipercaya sebagai wujud keimanannya pad Allah (HR. Ahmad, QS. 2: 283). Allah mengisyaratkan untuk mengangkat “pelayan rakyat” yang kuat & dapat dipercaya (الْقَوِيُّ الْأَمِينُ : QS. 28: 26). Secara umum, orang dipercaya karena 2 hal, yaitu:
- Integritas kepribadiannya, seperti: shiddiq (benar & jujur), adil, ramah, istiqamah & bertanggung jawab. Uswatun hasanah
- Kemampuannya, seperti: profesional/ahli dalam memenej tugas, atau fathanah /cerdas. Pemimpin yang fathanah harus memiliki 3 kecerdasan, yaitu:
i.
Kecerdasan
intelektual: Berilmu, berwawasan luas, cerdas-kreatif, memiliki pandangan jauh
ke depan / visioner (QS. 59: 18)
ii.
Kecerdasan
spiritual: Kemampuan menterjemahkan kehendak Allah dalam pikiran, sikap &
prilaku. Dia melakukan sesuatu bukan karena yang lain melainkan hanya karena
Allah semata (Ikhlas)
iii.
Kecerdasan
emosional: Sabar, yakni mampu mengendalikan emosi jiwanya, tahu kapan harus
bertindak tegas & kapan toleran.
- Syajâ‘ah, yaitu: berani menyatakan kebenaran & memutuskan perkara secara adil & bijak, serta berani menyeru pada kebaikan & mencegah kemungkaran. Hanya orang yang benar-benar bersih & yakin akan kebenaran yang diperjuangkannya serta takut pada Allah yang berani menyampaikan kebenaran risalah Ilahi.
- Mencintai & dicintai Rakyatnya, Bukti kecintaan pemimpin terhadap rakyatnya yaitu dia kenal & dekat dengan rakyatnya, peka dan peduli terhadap nasib rakyatnya, tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mendoakannya. Kemampuan merasakan penderitaan manusia dan sangat peduli dengan keselamatan mereka, dan dimiliki oleh Nabi saw yang tulus mencintai mereka.
- Uswatun Hasanah, yaitu: bisa menjadi teladan yang baik dan teduh sehingga mampu mendidik orang yang dipimpinnya dengan keteladanan dan nasihat yang baik pula.
C. Kriteria Dalam
Menentukan Pemimpin yang Ideal
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan
spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
1. Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba
Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila
pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu
menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia
takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah
atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam
pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan
Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria
ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia
selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran
ilmu.
Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu
adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam
menjawab berbagai macam problema ummat.
2. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara
emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabd: "Orang
yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal
untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang
yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan
segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang
yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak
mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah
Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia
akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan
pengambilan keputusan.
Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan
mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan
kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan
kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
3. Faktor Kepeloporan
Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki
sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan
perintah Islam.
Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada
posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil
khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di
bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang
yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya
pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang
yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan
dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan
Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka
seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf,
mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
4. Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur
keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan
Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai
titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya
Rasulullah.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki
akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa
perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan.
Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa,
tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan
membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
5. Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu
manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan,
perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan,
dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat
mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter
lainnya.
Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan),
tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif)
secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam
atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan
turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan
merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun
akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab.
D. Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
Sikap Pertama.
Memberikan Nasihat
Memberikan
nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala
kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan
kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan
merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja
yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang
yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan
bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun
baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang. Allah Ta’ala
berfirman:
“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha”
(QS.Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah engkau
berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى
)
adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator)
(Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim,
hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur
kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)
Berkata Imam Ibnu
Katsir -rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan
menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)
Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada
Fir’aun, penguasa
Mesir, yang telah
mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya,
tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan
menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan
lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid,
3/146)
Jadi,
ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui
batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala.
Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan
kapan saja.
Mengutarakan
nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal
mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR.
Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar
kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama
Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam
Adz Dzahabi)
Sikap Kedua. Tidak
Mentaatinya
Tidak
mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik
perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an
dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan
ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan
RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak
ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
“Hai orang-orang
beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS.
An Nisa: 59)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada
Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan
ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak
memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang
makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia
peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u),
yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya
memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah
taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat
syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim
ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)
Imam
Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri, “Ahli fiqh dan Ahli Agama,
demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu
Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata:
(Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul)
maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya
berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada
ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam
hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR.
Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada
Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim, 1/518)
Imam
al Baidhawi, berkata tentang makna Ulil Amri di antara kamu , “Para
pemimpin umat Islam pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dan setelahnya secara umum, seperti penguasa, hakim,dan panglima perang, dimana
manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah perintah untuk berbuat adil. Kewajiban taat ini berlaku selama mereka
dalam kebenaran.” (Anwarut Tanzil w a Asrarut Ta’wil, 2/94-95)
Imam
ar Razi berkata, “Ketaatan kepada para pemimpin hanya jika mereka di atas
kebenaran. Sedangkan taat kepada para
pemimpin dan sultan yang zalim tidak wajib, bahkan haram.” (Mafatihul
Ghaib, 3/244)
Masih banyak ayat
lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di
antaranya firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu
taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di
bumi dan tidak mengadakan perbaikan.”
(QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata
Abul A’la al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau
semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan
membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah
kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia
mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepeda
penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam
dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah
kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
Dalam
hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di
antaranya:
Dari Abdullah bin
Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia
sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah
untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’
wal Marjan, no. 1205)
Sikap Ketiga:
Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin
merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya
(Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada
alasan yang masyru’ dan logis.
Menurut Ubnu
Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan
pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan
sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan
terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah
perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin
Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau
perlawanannya seorang tabi’in ternama,
Said
bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij
adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa
yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam
di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata
pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih
pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam at Taftazani
dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu
‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya,
begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam
Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari
penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga
kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar,
maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya.
Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam
al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari
kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa
bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa
juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau
urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam
al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari
kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk
dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam
al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang
mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang
membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm
berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan
kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus
diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak
membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya
para ulama ini berbeda pendapat tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan
Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy
Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam
al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib,
fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak
sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan;
ketidak adilan dan cacat fisik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di
atas, dapat disimpulkan bahwa dari dulu zaman Nabi lalu Khulafaur Rasyidin
sampai sekarang seorang pemimpin mempunyai sesuatu innerbeauty tersendiri yang
bisa menarik perhatian dan mempengaruhi kelompok yang dipimpinnya. Dalam pemilihannyapun terselenggara dengan
mufakad atau diskusi. Namun menjadi seorang pemimpin juga harus tahu
batasan-batasan seorang pemimpin.Tidak hanya sekedar tahu, pemimpin juga harus
ada bukti/realisasi atas katahuannya tentang menjadi pemimpin yang baik sesuai
dengan Islam.
B. Saran
·
Kepemimpinan
dalam Islam secara kontekstelual seharusnya bisa dilaksanakan dalam sistem
pemerintahan negara
·
Kita
sepatutnya berani menegur pemimpin yang berlaku menyimpang dari ajaran agama
·
Sebagai
masyarakat kita harus mematuhi pemimpin yang sudah kita pilih
·
Dalam
pemilihan pemimpin seharusnya melalui kesepakatan atau musyawarah
·
Seorang pemimpin harus mampu
menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya
(tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota,
pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
DAFTAR PUSTAKA:
H. Munawir Sjadzali, M.A ; 1993 ; Islam dan Tata Negara :
Ajaran, Sejarah, Pemikiran; Jakarta ; UI-Perss
http://www.saefudin.info/2009/03/mencermati-kepemimpinan-rasulullah-saw.html
http://www.ppalanwar.com/news/177/13/KONSEP-KEPEMIMPINAN-ISLAM/d,detail_news_mawaidl/
http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/14/muhammad-saw-tauladan-kepemimpinan-sepanjang-masa/
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/09/enam-presiden-yang-telah-mewarnai-nkri/
0 komentar:
Posting Komentar